CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 18 Agustus 2018

Journey to the East (part one)

Satu bulan yang lalu mendapat tugas dadakan (as always) and I'm not mentally prepared. Tidak semua orang rela sepuluh hari dinas di daerah terpencil, apalagi yang sudah mengantongi rencana perjalanan sebelumnya. Namun, dengan dalih telah mengikuti pelatihan (sebelum lebaran), I've choosen. Semula saya diset di daerah perkotaan dan menggunakan CAPI. Tentu saja saya menolak. I've gone to that city dan melihat pencacahan di sana tidak mudah.

Senin sore (16/07), setelah pulang kantor mendapat pesan whatsapp dan email pemberitahuan briefing. Selasa dijadwalkan seharian briefing, tapi kenyataannya setengah hari saja yang efektif, sisanya sibuk bursa pergantian petugas dan pemesanan tiket karena Rabu (18/07) sudah harus menuju daerah tugas masing-masing.

Sungguh ini perjalanan termepet yang pernah saya dapatkan. Pulang kantor hari itu mendadak harus packing kilat. Sekitar jam sebelas malam harus menuju bandara mengejar tiket dini hari pukul 01.35. Saya terpaksa menukar kasur dengan seat super early morning flight.

Setidaknya sunrise tidak pernah mengecewakan.

For the first time menjalani waktu Indonesia timur. Terima kasih telah disambut dengan hangat bapak-ibu. Diajak sarapan porsi besar, diantar menyebrang sampai Sofifi, dan dicarikan auto buat antar sampai Weda. Lebih dua belas jam non stop telah kami tempuh demi perjalanan ini. Beruntung tidak jet lag, mabuk laut, apalagi mabuk darat. We have no time for that. Bagi yang mabuk laut, menyebrang lebih pagi lebih baik. Jalanan sepanjang Sofifi-Weda mengingatkan pada jalanan Wonosobo dulu, lebih ekstrem dan panas tapi. Bagi yang mabuk darat, bawa tidur aja.

Setelah tiga jam, siang sekitar dzuhur kami tiba di kantor. Sepi karena jam istirahat. Kami pun hanya bertemu Pak Kepala, diskusi progress, makan siang, lalu diantar ke penginapan. Tidak bisa dipungkiri badan perlu istirahat. Tanpa sadar ketiduran dan baru bangun saat diajak makan malam. Ckck. Ditambah acara mati lampu, sulit internetan di kamar penginapan, kami pun beristirahat saja, menabung tenaga untuk bab perjalanan berikutnya.

Besoknya (19/07) ada FGD kantor di penginapan, kami pun berdiskusi dengan subject matter saja hari itu di kantor. Total ada tiga tim dan posisi dokumen masih di lapangan semua. Satu tim di daerah trans tidak diketahui dengan pasti progressnya sudah sampai mana. There is no signal in that area. We must go there to know.

We went to the district by riding motor. Ngeri-ngeri sedap jalanannya. Beda lah feel-nya dibanding naik mobil. Serem? Tentu saja, apalagi di Gunung Tabalik. Pastikan yang membonceng berpengalaman agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Diwanti-wanti buat ‘menjaga keseimbangan’ saat melalui jalan itu. Dibonceng temen, yang maaf baru kenal pas di sana. Haha. Sebelum berangkat boro-boro sempat kontak, packing aja masih ada yang kelewat.

 Mungkin tak tampak seram dan curamnya. You must experience it yourself.

Setelah satu setengah jam perjalanan kami pun tiba di salah blok sensus tujuan. Ngaso sebentar di rumah mitra. Blok sensusnya di tepi pantai gaes, pemandangan tidak biasa bagi penduduk yang hidup di kota. Sebelum kami, ada supervisor dari pusat juga. Hari itu hari terakhir pengawasannya, jadi motor yang dia pakai, bisa kami pinjam selanjutnya. Maafkeun kerempongan kami mencari penginapan yang layak untuk tujuh hari kedepan. Kami pun memutuskan sekamar berdua di penginapan dengan sinyal internet cukup memadai. Berhubung mesti melakukan pelaporan setiap hari.

Selepas makan siang dan sholat kami pun menuju blok sensus di daerah trans. Sekitar satu jam dari penginapan. Setelah sepagian melalui jalan berkelok curam kadang berbatu, sorenya ditambah jalan berlumpur. Hampir sepanjang jalan menuju desa Waekob seperti gambar di bawah. Pastikan menuju ke sana saat terik. Kalau hujan turun, sudah bisa dipastikan kedalaman lumpurnya akan bertambah signifikan.


Untuk mencari satu orang di desa tanpa sinyal ini perlu bertanya kesana kemari. Beruntung orang-orang saling kenal dan peduli satu sama lain. You'll realize they're living well enough in no signal area. The first impression, witnessing people standing on chair in some spots just to get signal to send messages or making calls. Hari kesekian saya pun sempat menikmati desa ini, hidup tanpa sinyal terkadang dibutuhkan, agar bisa lepas sejenak dari tuntutan dunia, terutama work life huh :v

Sebagai penutup, betapa patut bersyukur ditempatkan di ibukota. There are a lot of people more struggling than you. Tidak sepantasnya mengeluh. Teruntuk srikandi data di luar sana, don't forget to love yourself. Sesekali manja boleh lah, for your own sake. You need rest sometimes. Rehat sejenak, agar bisa melangkah lebih jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar