Baru baca esai yang bagus, jadi sekalian deh direpost di sini. Setuju banget sama poin yang dia tuliskan di subjudul Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan. Rasanya pas aja baca esai ini, dalam kondisi merasa terjebak dalam sistem pendidikan. Materi padat, memakan waktu banyak, dituntut mencapai angka tertentu sebagai batas layak dikatakan lulus. Aahh.
"Kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka semata."
Dulu, ya, dulu mungkin aku menjadi salah seorang yang rajin mengincar angka-angka tertentu. Sampai suatu saat aku tersentak, sebenarnya apa gunanya sih angka-angka itu. Ternyata cuma sesuatu yang semu. Pemanis di bibir saja. Sekarang orientasiku sedikit bergeser, lebih penting memikirkan bagaimana mengaplikasikan ilmu yang didapat, ketimbang mengejar angka-angka semu. Realisasinya bagaimana? Entahlah, aku juga masih dalam proses ke tahap itu. Belajar itu suatu proses, bukan cuma buat ujian, trus udah selesai tinggal nunggu nilai, materi yang pernah dipelajari terbang disapu angin. Maka jadikanlah ilmu itu bermanfaat, baik buat diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Ayo move on. Semangat melakukan perubahan ke arah yang lebih baik :)
***
JIKA AKU MENJADI MENTERI PENDIDIKAN
oleh: GIGAY CITTA ACIKGENC – UNIVERSITAS INDONESIA
Ringkasan
Tujuan akhir pendidikan adalah mencetak generasi yang mampu
menghadapi tantangan zaman belum tercapai. Jam sekolah yang tinggi dan
materi yang berjejal membuat pelajar ogah-ogahan sekolah. Sistem
evaluasi pilihan ganda tidak memberi insentif bagi peserta didik untuk
cinta membaca. Berangkat dari pengalaman mencicipi pendidikan di tanah
eropa, ide-ide segar lahir dan cita-cita baru terpatri di nurani.
Menepis setiap kepentingan politis demi pendidikan yang dapat mengubah
sendi-sendi kehidupan adalah misi utama jika saya kelak menyandang
titel Menteri Pendidikan.
Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam
meninggalkan jejak abadi di bilik memori. Hari-hari di sekolah yang
saya jalani selama satu tahun ajaran membuka pintu kesempatan untuk saya
merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di Indonesia.
Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan
sebuah cita-cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan
setelah saya pulang ke tanah air, imajinasi posisi panglima tertinggi di
sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di benak saya.
Sekolah yang Menyenangkan
Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada
percik antusiasme yang membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah.
Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi ketika sedang menunggu bus
tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas. Kemampuan
bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya
untuk mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib
mengingat sekembalinya saya ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas
tiga SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang menarik serta sistem
evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala bahasa
dan cuaca yang menghadang saya.
Sesuai dengan usia saya yang saat itu berumur 17 tahun, saya
ditempatkan di kelas IV Liceo Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV
disana setara dengan kelas 2 SMA di negara kita. Dan seperti yang
tertulis di nama sekolah saya, saya masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang
unik, selain belajar Matematika, Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra
Italia, Sastra Latin, Sastra Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah
Seni tidak dianak-tirikan. Tak hanya kemampuan berhitung yang diasah,
namun kami dilatih pula untuk mengenal keping-keping masa lalu yang
acap kali di Indonesia tidak diselami lebih dalam kecuali jika Anda
mahasiswa Ilmu Sejarah.
Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran
pengetahuan yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi
kepala saya. Saya memaknai kutipan populer Carpe Diem di jam Literatur
Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang artinya adalah Seize
the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup
yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya
mengapresiasi fungsi moral dongeng Pinocchio dan Cinderella serta
menganalisis faktor internal novel abad 17 karya Robinson Crusoe di jam
Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan School of Athens karya
Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf
asal Britania Raya, John Locke.
Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas ‘Halo! Nama
saya Gea. Saya datang dari Indonesia’. Tiga bulan awal saya benar –
benar merasa seperti alien. Ketika berada di kelas, menahan kantuk
adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap materi
pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi,
seiring berjalannya waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak
manusia dalam beradaptasi dengan bahasa baru. Di bulan Desember 2011,
saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan diri untuk
mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya
Dante.
Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu
ujian dengan soal pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas
folio kosong. Saya tidak pernah menyilang jawaban, saya merangkai
jawaban. Apa yang saya dan teman – teman pahami adalah yang akan kami
tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat
menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian
saya berdasarkan perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini
pula yang membuat saya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang,
bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.
Letup Semangat yang Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang
kelas 3. Jam sekolah yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam
bentuk Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan meredupkan percik api
semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan waktu luang dan
kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya
berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus
SMA, murid-murid disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk
karya ilmiah yang nantinya akan dipresentasikan. Host-brother
saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya pelukis
Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di
dalam ruangan (sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya menulis sebuah esai dengan tema you are what you eat (Kamu adalah apa yang kamu makan).
Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah
produk kurikulum nasional. Pendidikan adalah salah satu faktor
pembentuk karakter umum suatu masyarakat. Meskipun ada perubahan,
kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki napas yang sama: materi
pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi
model pilihan ganda, dan ujian yang terstandardisasi (standarised-test).
Kalau hari ini masih banyak orang yang tidak malu melakukan tindak
pidana korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang
namanya diubah menjadi Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat
bersemainya benih-benih generasi koruptif. Pelaksanaan Ujian Nasional
yang rentan kecurangan adalah rahasia umum. Banyak murid yang saking
takutnya atau saking malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak
bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum
kelulusan, tidak semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan
ganda yang diujikan memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik
sontek-menyontek. Model evaluasi yang melihat nilai sebagai indikator
kelulusan dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang belajar
dengan berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan setiap orang yang pernah mengecap pendidikan formal.
Karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar-mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami
(baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari
di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat.
Dan yang dikejar oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri
Pendidikan adalah kenaikan angka statistik kelulusan.
Introspeksi Diri
Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai
batas minimum yang mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang
semu. Buktinya semakin banyak orang yang bisa sekolah, berita tawuran
antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan masih santer
terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang
untuk melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar
opini. Dua jam mata pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam
radar berimajinasi dan bereksplorasi.
Selama 12 tahun kami dijejali soal-soal yang tidak akan kami
hadapi di kehidupan nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis
karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian
Nasional yang berbentuk pilihan ganda tidak mendorong kami untuk
mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca.
Sehingga, akhirnya tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan
berpikiran terbuka (open-minded) dalam menyelesaikan masalah. Pengenalan pentingnya leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship
(kewirausahaan)? Di sekolah-sekolah swasta mungkin dua hal ini
diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat
semua kalangan? Belum tentu.
Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat
kekuasaan, Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak
boleh mengabaikan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012
yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran secara nasional pada Februari
2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012,
11.56 ). Alokasi dana APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk
proyek yang tidak berdampak langsung terhadap kualitas peserta didik.
Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana pendidikan wajib
ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di
dunia, Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang
menduduki peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu
dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar
tulisan yang dibuat benar – benar dapat melihat sejauh mana pemahaman
siswa.
Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan
Saya ingin merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam
sekolah yang memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah
saya rasakan juga hadir di setiap individu. Saya ingin sedari dini
warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral, kesenian daerah
diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak
hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat
budaya Indonesia. Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya
sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan siswa
untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca-tulis dan rasa ingin
tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya
tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak-
anak hanya karena tidak ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di
ruang kelas. Harapan saya pendidikan di tanah air tidak lagi menjadi
ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru.
Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga
tujuan akhir pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab
tantangan zaman dapat tercapai.
Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan oleh orang nomor satu di
jajaran aparatur Kementrian Pendidikan Nasional. Saya belum tahu
bagaimana caranya mecuri atensi presiden agar kelak beliau bersedia
mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama penyelenggaraan
pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari
ini saya telah menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan.
Dengan titel Ibu Menteri, saya juga ingin mengajak masyarakat untuk
menghapus citra ‘Anak IPA lebih pintar dari anak IPS’. Mosi ‘Setiap Anak
itu Unik’ harus disebarluaskan. Kelebihan di bidang olahraga, musik,
seni rupa, jangan lagi diremehkan. Orang tua harus diberi pencerahan
bahwa nilai di atas kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya.
Ujian Nasional digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau
karya ilmiah agar siswa menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak
mendewakan angka semata. Namun, berawal dari ketekunan dan kerja keras,
bukan dari tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan tangkas. Imaji
orang yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk
materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan-pelan
digeser menjadi imaji individu yang keberadaannya membawa manfaat
sebanyak-sebanyaknya bagi sekitar.
ya Allah, merinding aku. itu tulisan dhea ya bos?
BalasHapusBukan gin, ga kenal jg penulisnya siapa, cuma tau namanya gigay citta acikgenc.
HapusTapi pas bgt eh kaya dhea -_- hem. Tp gatau ah. Dpt dr mna bos? Minta linknya dong
Hapusmungkin sama2 pertukaran pelajar gin, kan ga cuma dhea. di tempo-institute, http://tempo-institute.org/jika-aku-menjadi-menteri-pendidikan/
Hapus