Dering telepon di sela-sela hectic penggantian sampel kala itu membuat saya tidak terlalu memikirkan tawaran mau menjelajah mencacah di kota mana. Disebutlah nama dua kota, pertanyaan yang keluar hanya apakah bisa selain Jawa Barat? Kemudian pada telepon berikutnya ditawarkan Pekalongan, nama kota yang saya tidak tahu persisnya di mana. Katanya pilihannya sisa itu kalau selain Jawa Barat, kamu diset di sana ya. Akhirnya saya iyakan saja biar bisa cepat lanjut memproses surat cinta penggantian sampel.
Menjelang tanggal keberangkatan dipesankan tiket kereta. Ternyata perjalanan menuju kota Pekalongan memakan waktu empat jam lebih. Berasa lama banget, apalagi masih dikejar deadline. Alhasil kursi berubah jadi tempat kerja. Lalu bertambahlah alasan saya malas naik kereta untuk perjalanan jauh. Balik Jakarta nanti sangat ingin tidak naik kereta.
Pencacahan di kota batik ini ternyata tidak begitu buruk. Penunjuk jalan orang asli Pekalongan dan pernah ikut kegiatan sejenis tahun lalu membuat pekerjaan jauh lebih efisien. Sehari bisa diajak ngider motoran dari Pekalongan Timur-Barat-Utara. Superb lah. Bekas gosongnya aja yang masih tertinggal di tangan ane. Overall nice, welcomed. Kata mbake kita bisa belajar banyak dari mencacah. Secara tidak langsung kita bisa mengetahui karakter orang, belajar dari cerita-cerita mereka, dari cerita membahagiakan (achievement) sampai cerita paling menyedihkan (mortality). Kita perlu pandai-pandai menempatkan diri.
Pekerjaan tetap hal utama, tapi akan lebih baik jika kita sempatkan mengenal kota yang dikunjungi juga kan, seloroh seorang bapak. Budayanya, makanan khasnya, hingga tempat wisatanya. Menyenangkan saban hari ada yang mengajak main. Makan megono Pekalongan yang jauh berbeda dengan megono Wonosobo, makan garang asem yang juga jauh berbeda dengan garang asem yang selama ini saya kenal di Jakarta, main lima belas menit ke pantai pasir kencana, malam mampir Museum Batik sayang sudah tutup, lalu lanjut diajakin ngeronde di alun-alun.
Hari berikutnya saya traveling sendiri karena masih penasaran dengan isi Museum Batik. Tak perlu khawatir, di museum ini, walau sendiri tetap ada guide yang membantu menjelaskan. Saya pun diajak berkeliling mulai dari ruang pertama berisi peralatan membatik, seperti kain, canting, malam dan bahan pewarna. Lalu ada koleksi batik yang didominasi batik Jogja dan Surakarta, lalu beralih ke ruang kedua mengenal sejarah Batik Pekalongan, ternyata khasnya berwarna terang, motif titik-titik, jlamprang, dan bunga. Ruang ketiga lebih bervariasi. Saya mulai tahu, mulai bisa membedakan aneka motif batik, mulai dari motif kawung, megamendung, parang, hingga pagi-sore. Bagian workshop yang paling menarik, kita bisa mencoba menulis batik menggunakan canting yang diisi malam.
Budaya membatik di kota ini menjadi industri rumahan yang menyerap banyak tenaga kerja. Pemandangan jemuran kain batik di depan rumah-rumah penduduk sudah tak asing lagi. Sungai yang tiap hari berubah warna menyesuaikan warna kain batik yang sedang diproduksi pun menjadi pemandangan yang dimaklumi. Lalu adanya air rob di daerah utara juga tidak menjadikan mereka putus asa menguruk tanah.
Benar-benar pengalaman tersendiri. Sepuluh menit pertama doang shock, selebihnya sudah merelakan turun di Pemalang, makan siang hanya bermodal sepotong roti karena tidak ada tempat penitipan barang, membeli tiket kereta ulang yang baru tiba di Pemalang empat jam kemudian. Baterai low. Dihimpit pekerjaan tapi belum bisa masuk mencari sumber energi laptop. Sungguh terima kasih untuk semua orang yang telah memudahkan urusan saya di Pekalongan maupun Pemalang, mulai dari pegawai, mitra, responden, cs, kondektur, dan satpam. Semoga urusan kalian juga dimudahkan, dilancarkan, dan dilapangkan rezekinya. Di manapun kalian berada, percayalah masih banyak orang baik. Orang yang mau direpotkan, orang yang bersedia membantu. Mari banyak-banyak bersyukur.
Magrib kala itu Kaligung tiba. Saya pun memastikan kembali bahwa kereta yang saya naiki tujuan akhirnya adalah Semarang. Cukup sekali salah naik keretanya. Teman perjalanan saya kali ini cukup menyenangkan, bapak-bapak programmer freelance yang tinggal di Semarang. Nyambung diajak diskusi berat sampai tempat wisata Semarang. Saat tiba di Pekalongan berasa dejavu, ada mas-mas yang hampir bernasib seperti saya tadi siang. Beruntung orang-orang gerbong kooperatif, saya pun inisiatif menanyakan kereta apa, ternyata kereta masnya Kamandaka di peron sebelah. Beruntung Kaligung belum melaju dan Kamandaka masih bertengger di peron sebelah. Perlu ekstra hati-hati memang sepertinya kalau di stasiun Pekalongan. Jadwal keretanya beda-beda tipis. Mesti mempertajam pendengaran juga karena belum ada semacam dashboard yang menandakan di tiap peron telah tiba kereta apa.
Well, sekian cerita kota batik pekan lalu. Thanks for reading. Sampai bertemu di postingan berikutnya.
"Traveling itu penuh kejutan. Kejutan ini yang bikin traveling lebih dari sekedar wisata."Kejutan itu pun dimulai ketika mau naik Kamandaka siang ke Semarang. Kalau diingat-ingat lagi konyol memang. Salah naik kereta Kamandaka, bukannya ke Semarang malah nyasar ke Pemalang. Nasib orang yang tidak terbiasa dengan peron, biasanya gate. Jadwal kereta Kamandaka hanya berbeda 15 menit. Entah karena buru-buru atau sibuk memikirkan penggantian sampel, ketika disebut kereta Kamandaka main naik-naik aja. Awalnya bingung karena kursi saya ditempati orang. Lalu orang-orang menyarankan duduk di tempat kosong aja. Selang lima menit kemudian, ketika kereta mulai meninggalkan Pekalongan baru menyadari tujuan akhir kereta ini Purwokerto, bukan Semarang .-.
Benar-benar pengalaman tersendiri. Sepuluh menit pertama doang shock, selebihnya sudah merelakan turun di Pemalang, makan siang hanya bermodal sepotong roti karena tidak ada tempat penitipan barang, membeli tiket kereta ulang yang baru tiba di Pemalang empat jam kemudian. Baterai low. Dihimpit pekerjaan tapi belum bisa masuk mencari sumber energi laptop. Sungguh terima kasih untuk semua orang yang telah memudahkan urusan saya di Pekalongan maupun Pemalang, mulai dari pegawai, mitra, responden, cs, kondektur, dan satpam. Semoga urusan kalian juga dimudahkan, dilancarkan, dan dilapangkan rezekinya. Di manapun kalian berada, percayalah masih banyak orang baik. Orang yang mau direpotkan, orang yang bersedia membantu. Mari banyak-banyak bersyukur.
Magrib kala itu Kaligung tiba. Saya pun memastikan kembali bahwa kereta yang saya naiki tujuan akhirnya adalah Semarang. Cukup sekali salah naik keretanya. Teman perjalanan saya kali ini cukup menyenangkan, bapak-bapak programmer freelance yang tinggal di Semarang. Nyambung diajak diskusi berat sampai tempat wisata Semarang. Saat tiba di Pekalongan berasa dejavu, ada mas-mas yang hampir bernasib seperti saya tadi siang. Beruntung orang-orang gerbong kooperatif, saya pun inisiatif menanyakan kereta apa, ternyata kereta masnya Kamandaka di peron sebelah. Beruntung Kaligung belum melaju dan Kamandaka masih bertengger di peron sebelah. Perlu ekstra hati-hati memang sepertinya kalau di stasiun Pekalongan. Jadwal keretanya beda-beda tipis. Mesti mempertajam pendengaran juga karena belum ada semacam dashboard yang menandakan di tiap peron telah tiba kereta apa.
Well, sekian cerita kota batik pekan lalu. Thanks for reading. Sampai bertemu di postingan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar