CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 24 Desember 2017

Hujan Bulan Juni

Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia
Terbit: 2015
Tebal: 144 halaman

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.
***
"Tidak ada yang lebih tabah dari pembaca novel ini." - AZ
Kutipan review g*odreads di atas cukup mewakili :p Novel ini sudah saya ajak berkelana, bahkan hingga ke salah satu kota setting ceritanya di utara sana, tapi teteup gak kelar-kelar bacanya. Sepertinya perlu dibaca ketika tidak ada beban pikiran ditemani secangkir teh hangat dan rintik hujan, biar syahdu. Wkwk. Terbilang berat bagi yang sastranya di bawah rata-rata. Alurnya pun bisa bikin emosi bagi yang kurang tabah.

Cerita novel ini sederhananya berpusat pada Sarwono dan Pingkan, dua orang yang saling jatuh cinta, namun terhalang perbedaan Jawa Menado. Sering kali diulang cerita berlatar kedua suku tersebut, getting me irritated. Lalu ada orang ketiga, orang keempat, orang kelima, you named it.

Jujur separuh bagian pertama membuat mumet. Tertarik baca sebelum menonton filmnya. Boro-boro. Baru dapat memahami tutur bahasa SDD pun separuh bagian setelahnya. Setelah hampir dua bulan menonton filmnya. Banyak bagian yang tambal sulam. Bagian menggembala gerombolan biri-biri Tonsea di novel padahal lumayan menarik. Bagian bertemu Toar juga cukup menarik. Belakangan baru tau Toar itu kakak Pingkan. Seingat saya, di film tidak disinggung-singgung.

Filmnya terlalu menonjolkan cerita yang dikaitkan Katsuo. Heran aing. Teman saya menonton kala itu ngakak terus tiap sosok Katsuo muncul, beyond your imagination lah pokoknya. Di novel tidak terlalu banyak membahas Sontoloyo Jepun itu (sebutan dari Sarwono). Endingnya pun. Ah, film tidak melulu harus happy ending kok. Penonton belakangan cukup bijak. Bagian apiknya mendeklamasikan puisi. Even puisi yang tidak dicakup di novel ini, tapi di buku puisi dengan judul yang sama. Setelah melalui ketiganya, saya lebih menyukai buku puisinya, terlebih bagian berikut.
"Kukirim padamu beberapa patah kata yang sudah langka. Jika suatu hari nanti mereka mencapaimu, rahasiakan, sia-sia saja memahamiku."
"Dalam setiap kata yang kau baca, selalu ada huruf yang hilang. Kelak kau pasti akan kembali menemukannya di sela-sela kenangan penuh ilalang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar