Sebulan lalu (11/05) menghadiri acara BukaTalks sekaligus buka bersama teman sefase bertumbuh. Berawal dari ajakan yang tumben tidak dadakan, saya pun berpartisipasi karena ada penulis "Filosofi Teras" menjadi salah satu pembicaranya. Buku yang masuk wishlist, menunggu bacaan habis dulu baru pinjam. Wkwk. Okeskip.
Najelaa Shihab. Korban pendidikan yang memilih berdaya, mengambil peran untuk pendidikan Indonesia. Proses belajar mengajar cenderung masih sama dari zaman ke zaman, yang hanya mengikuti kurikulum, tanpa tau dan memikirkan relevansi terhadap tujuan hidup.
Padahal sebenarnya sejak lahir anak sudah merdeka belajar dengan banyak bertanya. Namun, fitrah anak untuk selalu bertanya dan berekspresi itu dimatikan karena pola pendidikan.
Ciri-ciri orang yang merdeka belajar:
1. Punya komitmen dengan tujuan; murid jarang memiliki pemahaman yang utuh, tujuannya sebagian besar hanya nilai atau peringkat
2. Mandiri; yakin punya kendali pada apapun yang terjadi pada dirinya.
3. Berani berefleksi; murid jarang mencari feedback, padahal perlu berkolaborasi dengan orang lain.
#semuamuridsemuaguru, semua diri kita menjadi murid sekaligus guru. Mari mengambil peran untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik kedepannya.
Ciri-ciri orang yang merdeka belajar:
1. Punya komitmen dengan tujuan; murid jarang memiliki pemahaman yang utuh, tujuannya sebagian besar hanya nilai atau peringkat
2. Mandiri; yakin punya kendali pada apapun yang terjadi pada dirinya.
3. Berani berefleksi; murid jarang mencari feedback, padahal perlu berkolaborasi dengan orang lain.
#semuamuridsemuaguru, semua diri kita menjadi murid sekaligus guru. Mari mengambil peran untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik kedepannya.
dr. Jiemi Ardian. Psikiater yang cukup sering tweet-nya mampir timeline meskipun tidak saya follow. Bahasan self awarness menarik minat jiwa-jiwa yang terpapar vulnerability belakangan ini, termasuk saya mungkin (#eh) yang masih belajar meregulasi emosi.
Topik yang disampaikan dr. Jiemi kemarin terkesan ilmiah, namun mudah dicerna. Dibuka dengan kisah salah satu pasiennya yang kemudian dikaitkan dengan konsep definisi: sehat; mental dissorder. Berdasarkan sebuah penelitian, bahagia hanya dipengaruhi 10 persen oleh faktor-faktor/kejadian luar seperti stress, kehidupan, masalah; 50 persennya genetik/nasib yang tidak dapat diubah; sisanya 40 persen dipengaruhi respon internal kita.
What we can do now? Tergantung bagaimana kita memandang kesedihan. Ada dua proses pikir: Doing vs Being. Doing: keadaan kita sekarang, desire state, dan ada jarak diantaranya. Jika kita selesaikan dengan doing, ingin berusaha menyelesaikan masalah, tapi kita terjebak dalam masalah. Being: kondisi tidak melakukan artinya hidup menyadari. Mindfulness. Kesadaran akan kondisi saat ini, tanpa menghakimi apapun. Kesedihan akan berlalu jika kita izinkan. Sadari secara penuh, tanpa perlu melakukan apa-apa. Senang maupun sedih adalah peristiwa mental yang tidak berlangsung selamanya, dengan mendiamkannya pun semua akan baik-baik saja. Jangan hakimi perasaanmu.
Henry Manampiring. Penulis ini menarik mundur, membawakan filsafat yang sudah berumur 2.300 tahun dengan lugas, diawali dengan sebuah survei dua pertanyaan. Menurut orang Stoa, bahagia itu tidak ada emosi negatif. Sesederhana itu. Kita terganggu, isu sebenarnya dari opini kita sendiri terhadap hal itu. Emosi negatif adalah akibat dari nalar yang sesat, bukan disebabkan peristiwa eksternal.
Fakta objektif atas suatu hal selalu netral. Om Piring memberikan beberapa contoh, salah satunya terkait macet. Fakta objektifnya: lalu lintas padat merayap. Yaudah, itu di luar kendali kita. Opini kita semisal "Buang-buang waktu aja" atau "Saya tidak produktif" yang membuat marah/frustasi. Sebagian hal ada di bawah kendali kita, sebagian lain di luar kendali kita. Mari kita audit pikiran kita sendiri. Jangan mencantolkan kebahagian dengan hal-hal di luar kendali kita.
Kuncinya: practice. Sebelum bertindak, lakukan STAR: stop, think, assess, respond. Aware of our emotion. Engage untuk berpikir: kejadian itu di luar kendalimu atau di dalam kendalimu? Baru merespon atas kejadian tersebut. Selengkapnya baca bukunya kata Om Piring. Wkwkk.
Sebagai penutup, bagi yang berminat mendengarkan presentasi ketiga pembicara ini kemarin, silakan beranjak ke akun youtube Bukalapak, cari episode Bukatalks. Thanks for reading.
Topik yang disampaikan dr. Jiemi kemarin terkesan ilmiah, namun mudah dicerna. Dibuka dengan kisah salah satu pasiennya yang kemudian dikaitkan dengan konsep definisi: sehat; mental dissorder. Berdasarkan sebuah penelitian, bahagia hanya dipengaruhi 10 persen oleh faktor-faktor/kejadian luar seperti stress, kehidupan, masalah; 50 persennya genetik/nasib yang tidak dapat diubah; sisanya 40 persen dipengaruhi respon internal kita.
Bentuk grafik yang sudah tak asing :p
Predisposition semacam genetik, hal yang tidak dapat diubah
What we can do now? Tergantung bagaimana kita memandang kesedihan. Ada dua proses pikir: Doing vs Being. Doing: keadaan kita sekarang, desire state, dan ada jarak diantaranya. Jika kita selesaikan dengan doing, ingin berusaha menyelesaikan masalah, tapi kita terjebak dalam masalah. Being: kondisi tidak melakukan artinya hidup menyadari. Mindfulness. Kesadaran akan kondisi saat ini, tanpa menghakimi apapun. Kesedihan akan berlalu jika kita izinkan. Sadari secara penuh, tanpa perlu melakukan apa-apa. Senang maupun sedih adalah peristiwa mental yang tidak berlangsung selamanya, dengan mendiamkannya pun semua akan baik-baik saja. Jangan hakimi perasaanmu.
Keseimbangan adalah kunci dari kesehatan mental.
"Setiap orang bertanggung jawab atas perasaan masing-masing. Kita perlu menyadari bahwa segala perasaan yang kita alami itu tidak selamanya. Untuk apa kita terganggu dengan sesuatu yang tidak berlangsung selamanya." - dr. Jiemi Ardian
Henry Manampiring. Penulis ini menarik mundur, membawakan filsafat yang sudah berumur 2.300 tahun dengan lugas, diawali dengan sebuah survei dua pertanyaan. Menurut orang Stoa, bahagia itu tidak ada emosi negatif. Sesederhana itu. Kita terganggu, isu sebenarnya dari opini kita sendiri terhadap hal itu. Emosi negatif adalah akibat dari nalar yang sesat, bukan disebabkan peristiwa eksternal.
"Jika kamu bersusah hati karena hal-hal eksternal, kesusahan itu datangnya bukanlah dari hal tersebut, tetapi dari opinimu sendiri mengenai hal itu. Dan kamu memiliki kemampuan untuk mengubah opini ini, kapan saja." - Marcus Aurelius
Fakta objektif atas suatu hal selalu netral. Om Piring memberikan beberapa contoh, salah satunya terkait macet. Fakta objektifnya: lalu lintas padat merayap. Yaudah, itu di luar kendali kita. Opini kita semisal "Buang-buang waktu aja" atau "Saya tidak produktif" yang membuat marah/frustasi. Sebagian hal ada di bawah kendali kita, sebagian lain di luar kendali kita. Mari kita audit pikiran kita sendiri. Jangan mencantolkan kebahagian dengan hal-hal di luar kendali kita.
Kuncinya: practice. Sebelum bertindak, lakukan STAR: stop, think, assess, respond. Aware of our emotion. Engage untuk berpikir: kejadian itu di luar kendalimu atau di dalam kendalimu? Baru merespon atas kejadian tersebut. Selengkapnya baca bukunya kata Om Piring. Wkwkk.
Sebagai penutup, bagi yang berminat mendengarkan presentasi ketiga pembicara ini kemarin, silakan beranjak ke akun youtube Bukalapak, cari episode Bukatalks. Thanks for reading.
Can you spot us?
source: @bukalapak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar