Karena sejatinya, kita tahu persis apakah kita memang benar-benar bahagia, baik, dan jujur. Sungguh “Selamat Tinggal” kepalsuan hidup.
"Di mana coba berkahnya ilmu yang diperoleh dari buku bajakan?" - hlm. 13
Remah-remah yang tak terkatakan, serpihan-serpihan yang rela dibagi, dan keping-keping yang pantas dikenang.
Hati-hati tersesat.
"Di mana coba berkahnya ilmu yang diperoleh dari buku bajakan?" - hlm. 13
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Jakarta, Juni 1998Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.
Jakarta, 2000Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.
Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan akan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.
***
Sudah melirik novel ini sejak 2018 karena covernya. 2020 men-check-out-nya bersama satu buku prosa (Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau) yang tentu sudah lebih dahulu selesai dibaca. 2022 dibuat sesak seusai membaca novel ini. Sudah lama ternyata tidak membaca fiksi, terakhir Aroma Karsa. Genre sejarah sejujurnya not my cup of coffee, makanya tak kunjung selesai dibaca. Terlalu lama jeda membaca prolog yang sejatinya sudah menyuratkan ending ceritanya. Memasuki pertengahan cerita baru tergesa ingin menyelesaikannya.
Novel ini berisi flashback yang dibagi menjadi dua bagian, dari sudut pandang Biru Laut dan Asmara Jati (adiknya). Sesuai judulnya, benar-benar Laut yang bercerita di awal. Ia turut bergabung dengan Winatra, organisasi mahasiswa yang memihak pada kaum kecil, seperti buruh dan petani. Cerita fiksi yang terasa begitu nyata, perjuangan para aktivis yang kegiatannya dianggap menentang pemerintahan kala itu, dikejar-kejar aparat, hingga harus hidup berpindah-pindah. Kemudian, satu per satu mereka hilang (re: penghilangan orang secara paksa). Bagian terberat mendapati satu pengkhianat berada di antara mereka.
"Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi, atau 20 tahun lagi. Tapi apapun yang kamu alami di Blangguan dan Burungasih adalah sebuh langkah. Sebuah baris dalam puisimu. Sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu." -hlm. 183
"Aku hanya ingin kau paham, orang yang suatu hari berkhianat pada kita biasanya adalah orang yang tak terduga, yang kau kira adalah orang yang mustahil melukai punggungmu." - hlm. 31
Emosi kian memuncak di bab Asmara Jati, yang perlahan mengajarkan kita agar berdamai dengan kehilangan. Sekian tahun keluarga para aktivis, baik orang tua, kakak, adik, kekasih, menyangkal bahwa mereka yang hilang sudah tiada. Sang adik, mencoba untuk mengajak kedua orang tuanya ‘keluar dari kepompong’ dan menghadapi kenyataan bahwa Mas Laut hilang dan tak akan pernah kembali. The last part hit the hardest, I couldn't hold back my tears.
"Kalau sampai aku diambil dan tidak kebali, sampaikan pada Asmara, maafkan aku meninggalkan dia ketika bermain perak umpet, dia akan paham. Aku akan selalu mengirim pesan kepadanya melalui apa pun yang dimiliki alam. Dan sampaikan pada Anjani, carilah kata-kata yang tidak terungkap di dalam cerita pendekku." - hlm. 226
"Gelap adalah bagian dari alam. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, sebuah titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi." - hlm. 2
"Seandainya belum ada satu pimpinan pun yang menunaikan janjinya untuk mengungkap kasus kematianku dan kematian semua kawan-kawan, maka inilah saranku: kalian semua harus tetap menjalankan kehidupan dengan keriangan dan kebahagiaan." - hlm. 366
I really want to thank all of the activists involved at that time because they have succeeded in creating a better country for us to live in. Selamat (sebentar lagi) Hari Pahlawan!
Kalau ingin memahami orang lain, pertama-tama kita harus bisa memahami diri sendiri. Sebab, bagaimana mungkin memahami perasaan, masalah, dan apa pun yang sedang dialami orang lain kalau kita gagal melakukan hal serupa pada diri ini.
Beri ruang yang cukup untuk dirimu sendiri. Beri waktu yang lapang untuk mengenali diri dengan baik. Jangan sampai kita terlalu sibuk dengan dunia luar sehingga gagal memahami diri ini. Lalu saat sudah berumur, kita masih dibuat bingung dengan keinginan yang ada.
Memberi Ruang akan membawa kita memahami berbagai pelajaran hidup yang hadir lewat kegagalan, kesedihan, kecemasan, dan masalah-masalah lainnya.
Buku ketujuh yang ditulis masgun sejak 2014. Kali ini sengaja langsung direview tak lama setelah bukunya selesai dibaca, agar tidak terlewat seperti Bising (yang rencana reviewnya akan disusulkan kemudian, haha). Mungkin di antara kalian ada yang sudah pernah membaca Hujan Matahari, Lautan Langit, Menentukan Arah, Bertumbuh, atau Arah Musim; tidak akan asing dengan buku kumpulan tulisan pendek ini.
"Hati-hati segalanya memiliki konsekuensi." - pesan di samping tanda tangan yang dibubuhkan masgun
"Kita tidak selamanya bisa bergantung kepada orang lain. Seseorang yang akan terus menemani kita adalah diri sendiri. Maka, bantulah dirimu untuk bisa menjadi pribadi yang baik. Pribadi yang menyenangkan. Bantulah dirimu untuk menjadi orang yang berwawasan, bisa kamu ajak bicara, dan kamu merasa nyaman dengannya setiap waktu." - hlm. 42
Apakah nyaman ngobrol dengan diri sendiri di fase krisis? Everyone was a beginner, selami cara berpikirnya. Kalau ada yang bisa diperbaiki, bantu memperbaiki cara berpikirnya. Respect dengan peran yang diambil oleh orang lain. Di luar sana ada yang tidak bisa memilih peran, karena seolah-olah itu takdir. Appreciate, apa yang dikerjakan itu bernilai.
Kapan terakhir kali benar-benar bicara dengan orang tua?
Seberapa penting hal itu bagimu? Jika perlu waktu mencapainya 7 sampai 10 tahun apakah bersedia mengambil konsekuensinya? Jangan memilih sesuatu yang tak ingin kamu miliki seumur hidup.
"Tak ada yang mengejar-ngejarmu, kecuali kekhawatiran dan ketakutanmu sendiri." - hlm. 111
"Kita sering kali memilih sesuatu yang lebih mudah dijalani, mesti bukan yang benar-benar kita inginkan." - hlm. 157
Diselipkan beberapa halaman kosong untukmu menulis tentang dirimu sendiri pada buku ini. Semangat berkontemplasi.
2021 passed like a flash. It has been a long time since I wrote again. As if someone paying attention wkwk. Some people may wonder what I am going through. Gathering myself to write last year's sum up post required more courage, without getting burst into tears. So many things that I wanna skip. However, thanks again, you are survived. Even if you feel weird about yourself, somehow.
Certain someone asked me what I have learned the most in the past year, and my answer was... being healthy. Before you nurse other, make sure to take care of yourself. Even though there was a second wave of Covid-19, walking in and out of hospital for a while. When my legs became helpless, hear the monitor beeped. Then, watching medical dramas will never be the same again. It took a lot of my time, to getting back on my feet. But it's okay, it's really okay to be vulnerable during those time. I even (try) normalized to take annual leave to rest. Last third of last year has been so busy that I did not think much.
Health is one of valuable asset. After three months of window shopping, I decided to buy slow juicer to make green juices. The results are visible when my mood swing improves, and my skin is a bit glowing pfft. But most importantly, I can adjust my diet so it does not cause flare-ups or other digestive problems. Lately, to consistently make green juices is a different story. Haha.
Another skill that was unlocked last year was composting. Previously, I started sorting organics and inorganic waste. The most household waste is organic waste. I knew even sorted waste, when picked up by dustman or dropped on a laystall, it got jumbled up again. Thankfully, my housemates support composting. Then, we bought composting kit and learn how to do it. We failed at first because we did not use the right brown materials. We harvested compost twice last year. She even developed a new hobby (re: gardening). Nowadays, I am not the only one who has plastics laundry :D
Ah ya, for the first time I lost my annual leave. However, I had the opportunity to go home twice, of course while working. And as the third one, I've so tired, thus I decided to plan a vacation, obviously not alone :p Thanks for wrapping last year (at least) beautifully.
2020 was a tough year. Thank you, at least you survived. I learn to pick up my (messy) self. Despite so many unfortune news circulated. Thanks to every support systems through this year. Tribute to careerclass, one that makes me realistic and shows many perspectives. I wrote a little about it in this post. Tribute to beginagain channel that help calming my feeling, even I didn't understand any single lyrics :p. Tribute to ustadz nuzul zikri one-hour-live every morning that support me spiritually and succeed make me not sleep again after dawn :p
When I look back, ah, slow living idea was nice thing. I simply tried just to be ordinary person. Wkwk. I don't wanna love my self too much. I don't wanna be so hard on my self. I just want to balance things. Being comfortable with imperfection. Dealing with loneliness. Bravely to make life better by my own standards, little by little. In some case I choose to be bold, literally, with eloquent communication skill. Pfft. You can't please everyone anyway.
Changing habit is not easy. You need strong will and perseverance. Start small, for me like a morning walk. I start morning walk / jog to organize my thoughts, two years ago. Nowadays, I simply walk to get some sunlight or just to keep my self from doze off during meetings without coffee. Haha. Another thing that I take seriously as (health) investment is consume real foods; eat less flour, sugar, dairy, and processed food. I learn from rainbowofmylife. It's really helpful to deal with my picky eater problem, even if I haven't tried green smoothies yet.
Based on one of financial class careerclass, I decided to try another investment instruments with smaller risk than stocks (re: mutual funds). Following my previous posting about investment, when my portfolio slightly greener, I came back wkwk. There are still many things that needs to be improved, I also took CSM class. Yet the problem still lies in me who is not disciplined with trading plan and managed greed. Fighting, pension fund target still far away. Haha. So, choose your battle wisely.
"Albert Einstein pernah mengatakan bahwa semua orang yang dilahirkan di muka bumi ini pada dasarnya genius. Masalahnya, mereka selalu diukur kecerdasannya berdasarkan hal-hal yang tidak mereka miliki, bukan atas apa yang mereka miliki." - hlm. 37
Namun, bagi Agustinus dari Hippo, "Those who do not travel read only one chapter." - hlm. 44
"Kalau kita mau hidup enak, ya kita harus belajar terus, tidak boleh ada tamatnya meski tidak ada ijazahnya." - hlm. 187
"Learning itu gabungan dari relearn dan unlearn." - hlm. 191
"Kalau kita berani melewati jalan tidak nyaman, lambat laun kita pun bisa meraih kemahiran. Kalau sudah mahir dan nyaman, jangan lupa cari jalan baru lagi. Seorang climber, kata Paul Stoltz terus mencari tantangan baru. Dia bukanlah a quiter atau a camper." - hlm. 192