Penulis : Dewi “Dee” Lestari
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun Terbit : 2011
Halaman : 160 Halaman
Tertarik baca novel ini karna diangkat ke layar lebar. Penasaran aja ceritanya gimana dan ternyata novel ini berisi kumpulan cerpen dan prosa. Master ceritanya berjudul Madre.
“Apa rasanya jika sejarah kita berubah dalam sehari?
Darah saya mendadak seperempat Tionghoa,
Nenek saya seorang penjual roti, dan dia,
Bersama kakek yang tidak saya kenal,
Mewariskan anggota keluarga baru yang tidak pernah saya tahu: Madre.”
Darah saya mendadak seperempat Tionghoa,
Nenek saya seorang penjual roti, dan dia,
Bersama kakek yang tidak saya kenal,
Mewariskan anggota keluarga baru yang tidak pernah saya tahu: Madre.”
Kata Madre ternyata berasal dari bahasa Spanyol, yang berarti ibu. Biang adonan roti. Biang ini ceritanya sudah berumur puluhan tahun dan setiap kali dipakai juga selalu diberi 'makan', seolah-olah hidup. Aku tidak terlalu mengerti bagaimana bisa, segumpalan itu bisa menghasilkan roti dengan cita rasa unik. Selama ini belum pernah nyoba roti klasik semacam itu sih, penasaran, nanti deh kapan-kapan, katanya di luar negri banyak, bacanya aja bikin ngiler *eh.
Tokoh utama dalam cerita ini bernama Tansen, seorang freelancer yang sebelumnya tinggal di Bali bekerja serabutan. Hingga suatu hari dia diminta ke Jakarta untuk mengurus warisan dari kakeknya. Sebuah kunci untuk membuka kulkas tempat Madre disimpan.
Tansen diam-diam ternyata suka menulis di blognya. Menulis apa saja dan mulailah ia bercerita tentang Madre. Tak disangka dari ceritanya ada yang berminat membeli Madre dengan harga sangat tinggi. Tansen yang awalnya tidak mengerti apa-apa tentang roti tanpa pikir panjang ingin menjualnya. Akan tetapi saat para artisan--istilah untuk pembuat roti profesional-- yang sudah berumur membuat acara perpisahan dengan Madre, saat itulah Tansen tersadar. Ia tidak jadi menjual Madre kepada Mia, orang yang sering blog walking di blognya. Akhirnya, toko roti yang sudah lama tidur itu dibangunkan kembali oleh mereka.
Well, segitu aja cerita Madrenya. Aku yang tidak terlalu mudah memahami seuntai prosa akhirnya cuma ku baca sekilas dan bahkan ada yang tega ku skip. Hehehe. Terkadang kerumitan kata-kata bisa mengalahkan Kalkulus. Apadeh *abaikan. Hahaha.
Cerita lain yang lumayan ku suka berjusul Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan. Apakah itu cinta? Apa itu Tuhan?
Si pencerita meminta si pewawancara untuk mengupas kulit bawang merah
dari semangkuk acar yang ada di hadapannya dengan kuku. Maka berdua
mereka terus menguliti bawang sampai tak bersisa lagi.
“Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa.
Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia atau harus nelangsa,
lagi aku berkata. “Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan
penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar