Judul: London: Angel
Penulis: Windry Ramadhina
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 340 halaman
Penerbit: GagasMedia
Setelah Melbourne dan Paris, ini novel seri STPC ketiga yang kubaca. Tertarik beli (utamanya) karena ceritanya berbau hujan, settingnya di London dan kebetulan ada diskon 25% di bukubukularis.com :v
Ini rasa-rasanya karya Mb Windry yang pertama kali ku baca, pernah tau novelnya yang Montase, tapi belum pernah baca, mungkin sering liat di etalase buku aja kali ya. Hehehe.
Novel ini didedikasikan untuk pecinta hujan. Percayakah kalian bahwa setiap hujan yang turun membawa serta malaikat-malaikat? Secara ilmiah yang mungkin kalian tahu, hujan turun membawa serta metana, besi, neon, asam sulfur, atau asam nitrat. Tapi malaikat? Akupun kurang tau, yang aku tau dikala hujan doa lebih mustajab :)
Novel ini bercerita tentang seorang penulis sastra bernama Gilang, orang yang suka memberikan nama-nama tokoh fiksi ke teman-teman dan orang yang ditemuinya berdasarkan kesesuaian karakter yang mereka miliki. Ada Brutus, Hyde, Dum, Dee dan V, pria yang memakai topeng Guy Fawkes di V for Vendetta dan lainnya.
Dalam novel ini sering menyebut karya-karya sastra abad 19. Hanya sedikit yang aku tau, cuma Shakespeare, berhubung bukan pecinta sastra. Novel sastra yang pertama kali ku baca berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang direkomendasikan Guru Bahasa Indonesia SMAku dulu, tapi setelah menamatkan novel itu, aku tidak tertarik lagi membaca novel sastra, sepertinya bukan genreku. Sayang, padahal pengen baca Tenggelamnya Kapal van der Wijck, katanya bagus. Nantilah, kalau hasrat membaca novel sastraku kembali mencuat *tsah.
Well, kembali ke novel ini. Maaf sering salah fokus, akhir-akhir ini memang sering terjebak dalam momen ini. Pfft. Berasa udah ga ada ujian, padahal baru satu minggu yang terlewati, masih ada satu minggu lagi *ups. Tuh kan salah fokus lagi :p Maaf ya, sebenarnya lagi menguji kesabaran kalian membaca review ini. Kemudian dikeroyok masa. Persoalannya emang ada yang baca? *eh Hahaha. Baiklah mari saya sudahi kesalahfokusan ini *serius.
Gilang, seorang penulis sastra, tapi bahkan dia belum pernah menerbitkan sebuah novel pun, katanya dia hanya ingin menulis satu novel semasa hidupnya, tapi novel yang berkualitas. Jadilah ia sampai sekarang masih terjebak di bab dua belasnya dan sibuk membenahi bab tujuhnya. Ck. Ia sudah bersahabat puluhan tahun dengan Ning. Mereka bertetangga hingga Ning memutuskan kuliah di London dan bekerja di Tate Modern. Ning yang selalu berbinar-binar ketika melihat karya Surealisme dan Imperialisme. Entah jenis seni kontemporer apa itu, tapi dari yang aku tangkap sepertinya itu sesuatu yang abstrak. Pantas Gilang tidak mengerti.
Aku sudah pernah bilang kan, entah di postingan mana, umumnya laki-laki dan perempuan dewasa tidak pernah selamanya menjadi sahabat. Begitupun dalam kisah ini. Ketika kuliah tahun kedua rasanya Gilang dibantu Brutus mulai menyadari bahwa dia tidak hanya melihat Ning sebatas sahabat. Entah sejak kapan. Dan pada suatu ketika dia pernah menyatakan perasaannya, namun pada momen yang kurang tepat sehingga Ning tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapannya. Terkadang momen memang bisa menjadi musuh terbesar.
Cerita berawal dari ocehan Gilang yang mabuk ketika berada di sebuah pub. Dia bilang akan menyusul Ning ke London. Sungguh pernyataan yang nekat dan konyolnya hal itu ditanggapi dengan serius oleh keempat temannya. Mereka mempersiapkan segala sesuatu perihal perjalanan ke London yang paling menguntungkan versi mereka untuk Gilang. Mulai dari memilihkan tiket, tanggal, penginapan, visa dan lain-lain. Gilak. Mau tidak mau Gilang menjalankan misinya menempuh ribuan kilometer demi menyatakan perasaan kepada gadisnya, Ning.
Apakah misi nekat tanpa pikir panjangnya itu berhasil? Hmm. Lima hari di Londonnya yang akan menentukan. Ohiya, Gilang tidak memberitahu Ning tentang keberangkatannya ke London. Ceritanya ia ingin memberikan kejutan, tapi setibanya di London ia tidak menemukan Ning di rumah indekosnya. Miris. Begitu juga hari selanjutnya hingga ia sempat frustasi. Jangan-jangan perjalanan menempuh ribuan kilometernya itu akan sia-sia belaka.
Di sela kekhawatirannya, Gilang akhirnya memutuskan berjalan-jalan menikmati London, maka dimulailah pertemuannya dengan gadis misterius yang hanya muncul ketika hujan turun dan menghilang ketika hujan berhenti. Gilang tidak mengenalnya. Ia memberi nama gadis itu dengan sebutan Goldilock. Gadis itu meninggalkan sebuah payung merah yang kemudian menuntunnya ke cerita cinta, mungkin bisa dikatakan menyukseskan cerita cinta, tapi bukan cerita cinta Gilang, cerita cinta orang lain. Jadi bagaimana nasib cerita cinta Gilang? Silahkan temukan sendiri jawabannya dalam novelnya ya :)
Meskipun banyak nama-nama tokoh atau istilah-istilah dalam seni maupun sastra yang tidak ku mengerti, aku suka gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini. Agak berat, tapi berbobot. Suka aja mengulang membaca majas-majas yang digunakan untuk lebih memahami artinya. Satu hal lagi yang menarik perhatianku, penulisnya bercerita menggunakan sudut pandang si laki-laki (Gilang) dan disitu dia seolah bisa menggambarkan dunia laki-laki gitu. Gimana ya, jarang aja gitu aku menemukannya dalam novel yang ditulis perempuan. Biasanya kalau penulisnya laki-laki baru gitu. Ngerti ga? Ga ya? Yaudah deh *abaikan.
Sekian reviewnya. Makasih buat Mb Windry yang telah menambah kosakataku. Aku baru tau ada kata "hibuk" dan makasih secara tidak langsung telah membenarkan konsep arti kata "bergeming" dan "mengacuhkan" dalam pemahamanku :D
Apakah misi nekat tanpa pikir panjangnya itu berhasil? Hmm. Lima hari di Londonnya yang akan menentukan. Ohiya, Gilang tidak memberitahu Ning tentang keberangkatannya ke London. Ceritanya ia ingin memberikan kejutan, tapi setibanya di London ia tidak menemukan Ning di rumah indekosnya. Miris. Begitu juga hari selanjutnya hingga ia sempat frustasi. Jangan-jangan perjalanan menempuh ribuan kilometernya itu akan sia-sia belaka.
Di sela kekhawatirannya, Gilang akhirnya memutuskan berjalan-jalan menikmati London, maka dimulailah pertemuannya dengan gadis misterius yang hanya muncul ketika hujan turun dan menghilang ketika hujan berhenti. Gilang tidak mengenalnya. Ia memberi nama gadis itu dengan sebutan Goldilock. Gadis itu meninggalkan sebuah payung merah yang kemudian menuntunnya ke cerita cinta, mungkin bisa dikatakan menyukseskan cerita cinta, tapi bukan cerita cinta Gilang, cerita cinta orang lain. Jadi bagaimana nasib cerita cinta Gilang? Silahkan temukan sendiri jawabannya dalam novelnya ya :)
Meskipun banyak nama-nama tokoh atau istilah-istilah dalam seni maupun sastra yang tidak ku mengerti, aku suka gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini. Agak berat, tapi berbobot. Suka aja mengulang membaca majas-majas yang digunakan untuk lebih memahami artinya. Satu hal lagi yang menarik perhatianku, penulisnya bercerita menggunakan sudut pandang si laki-laki (Gilang) dan disitu dia seolah bisa menggambarkan dunia laki-laki gitu. Gimana ya, jarang aja gitu aku menemukannya dalam novel yang ditulis perempuan. Biasanya kalau penulisnya laki-laki baru gitu. Ngerti ga? Ga ya? Yaudah deh *abaikan.
Sekian reviewnya. Makasih buat Mb Windry yang telah menambah kosakataku. Aku baru tau ada kata "hibuk" dan makasih secara tidak langsung telah membenarkan konsep arti kata "bergeming" dan "mengacuhkan" dalam pemahamanku :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar