CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 24 Januari 2017

Seribu Wajah Ayah

Judul: Seribu Wajah Ayah
Penulis: Azhar Nurun Ala
Penerbit: Azharologia
Terbit: 2014
Tebal: 158 halaman

"Karena cintanya adalah pancaran cahaya--tak 'kan berhenti hanya karena kau menutup jendela."

Sudah cukup lama mengenal karya penulis yang satu ini, sebelumnya melalui Ja(t)uh dan Tuhan Maha Romantis. Ketika melihat buku ini di tumpukan temen tetiba ingin membacanya, dan setelah menelusuri lagi ada dua judul buku barunya yang belum ku baca. Cover TMR berubah jadi kiwi, jadi pengen punya, terlebih Konspirasi Semesta :3

Buku ini menemani perjalanan pelatihan minggu kedua Januari lalu, sepanjang rel kereta dari-menuju Bandung. Buku ini terbilang padat dan berat. Sepertinya banyak yang ingin disampaikan penulis, tapi bagi pembaca macam saya yang tidak begitu sastra, belum tersampaikan dengan halus. Perlu sedikit berkerut-kerut terlebih dahulu.
"..., tapi memang itulah manusia: tak selalu yang kita yakini berani kita jalani." - hlm. 20
Bagian paling menyentuh ketika tokoh menulis puisi untuk ibu. Bagaimana mungkin seorang tokoh yang hanya dibesarkan oleh ayahnya menulis puisi untuk ibu? Kamu harus membaca sendiri rangkaian ceritanya hingga puisi di halaman 94. Bohong kalau tidak berkaca-kaca atau meneteskan air mata membaca cerita novel ini bagi orang yang level sensitifnya di atas rata-rata, dan bagian saya jatuh di #MomenBarengAyah. 

Pesan moral yang paling berkesan, ketika berkarier jangan lupa bahwa orang tua kita juga bertambah tua. Terkadang ada orang tua yang tidak ingin diketahui anaknya bahwa beliau sedang sakit. Terkadang ada orang tua yang mengurungkan niat menelpon karena khawatir anaknya sedang sibuk. Inisiatiflah sebagai anak, bertanya kabar beliau terlebih dahulu, menelpon terlebih dahulu, sebelum semuanya terlambat.

Pesan lain yang saya peroleh di luar buku, tapi masih berhubungan. Cari tahulah kehendak orang tua, cari tahu apa harapan beliau, apa keinginan beliau terhadap anaknya. Bertanyalah. Terkadang apa yang orang tua ucapkan belum semuanya mewakili apa keinginan beliau. Bagi kalian yang masih tinggal dengan orang tua bisa menelusurinya lewat gestur beliau, mendengarkan cerita beliau ke orang lain, dsb. Bagi yang jarak jauh dengan orang tuanya, bersikaplah lebih sensitif, pertajam pendengaran kalian melalui telpon. Setelah mengetahui keinganan beliau, kembalikan lagi ke diri kalian, apakah bersedia mengikuti keinginan beliau atau berkompromi atau bersikap egois. Semua itu pilihan, diri kitalah yang akan menjalani, tapi menurut hemat saya, apa-apa keinginan orang tua tetap perlu kita pertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
"Apa yang kita lihat tak selalu seperti apa yang sebenarnya." - hlm. 21