CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 20 Februari 2017

Teman Imaji

Judul: Teman Imaji
Penulis: Mutia Prawitasari
Penerbit: CV iDS
Terbit: 2015
Tebal: xii + 388 halaman

Akhir Januari lalu ikut pre-order buku self publishing ini atas rekomendasi seorang teman yang cukup saya percaya selera bacaannya. Sudah lebih seminggu lalu buku ini mendarat di kosan, baru sempat menuntaskannya kemarin (15/02). Seharian ini hujan, sehingga tertarik menuntaskan review buku ini.
"Kejujuran itu milik kita yang paling berharga." - hlm. 70
Buku ini berkisah tentang anak kota hujan--Kica. Orang-yang-menulis. Unik. Sebagian karakternya bisa saya terima, sebagian lagi tidak habis pikir. Aneh. Namun, kalau dipikir-pikir lagi kita semua memang aneh atau bisa dibilang punya keanehan tertentu bukan? Keanehan itulah yang kemudian membuat kita menemukan teman dengan satu frekuensi aneh yang serupa.

Banyu. Mantan anak kota hujan. Sosok to good to be true bagi Kica. Seseorang yang bisa memahami apa yang tidak ia katakan dengan baik. Seseorang yang bisa mengatakan dengan baik apa yang tidak ia pahami. Seseorang yang bahkan bisa memahami apa yang tidak ia katakan. Seorang teman yang amat mengerti dirinya yang aneh. Pesan satu kayak Banyu boleh?
"There is no such to good to be true Kica. If  he's too good to be true, you can always do something to be as good as he is." - hlm. 104
Ah, Adit. Sosok yang berpotensi charming, tapi sayang langsung luntur di bab-bab menuju akhir. Kasian loh. Jadi dia begitu saja? Pesan moralnya, sebaik apa pun kita terlihat di mata orang lain, tetap diri kita sendirilah yang paling tahu bagaimana sejatinya kita. 

Bukunya sangat fiksi menurut saya, meminjam istilah Kica--to good to be true. Namun, patut diakui sarat makna. Banyak pesan moral yang diselipkan penulis, yang cukup bisa diterima, yang sayang untuk dilewatkan. Well, setiap karya akan menemukan penikmatnya. Saran ukuran hurufnya mungkin bisa sedikit diperbesar dan pakai font-family Serif agar menambah kenikmatan pembaca hard copies Mbak Uti. Hehe.
"Karena Tuhan menyiapkan yang membuka hati, Kak, bukan membuka hati yang siap." - hlm. 289
"Menemukan jodoh itu rumit Kirana... Seagama belum tentu seiman. Seiman belum tentu setujuan. Setujuan belum tentu sejalan. Sejalan belum tentu sekufu." - hlm. 315
"Kita tidak memilih. Kita tidak dipilih. Tapi kita dipilihkan. Oleh Allah. Maha Pembolak-balik dan Penjaga Hati yang sesungguhnya. Tapi... kita bisa memilih. Untuk jujur atau tidak. Dengan hati kita..." - hlm. 364
Bagian yang paling menggelitik bagi yang terserang salah satu sindrom quarter-life crisis. Entahlah. Kita memang tidak pernah benar-benar tahu hingga kita sendiri menjalaninya. I don't wish, I pray.

Lautan kering menyisakan genangan. Hujan kering menyisakan kenangan. Semoga setiap hujan yang turun senantiasa memberi manfaat bagi kita.

Salam dari pecinta udara basah setelah hujan.

Minggu, 19 Februari 2017

Car free yay!

Setiap orang punya cara farewell masing-masing. Kami mengadakannya dengan cara yang tidak biasa (re: CFD). Absurd, tapi saya pernah diajak ala-ala farewell yang lebih absurd (re: menikmati malam di Monas). Hell-o. Apa coba yang dinikmati? Tentu saja saya tolak dari dering pertama, apalagi berpotensi dijadikan obat nyamuk :p

Seminggu yang lalu (12/02), akhirnya jadi juga CFD, setelah seminggu yang lalunya lagi gagal. Pagi hari itu awalnya mendung, tidak hujan. Berhubung minggu lalunya gagal dan tidak memungkinkan minggu depannya lagi, karena mereka sudah memasuki waktu penempatan, dijadikanlah agenda yang satu ini.

Setelah berbagai insiden di pagi hari, kami berangkat. Sampai Kampung Melayu, pouring rain. Sangat deras. Bis tujuan tak kunjung tampak. Kamipun beralih rute, sambil menunggu hujan reda. Jika dihitung, ada lima kali kami berganti bis. Beruntung sampai Sarinah hujan mereda.

Tidak seorang pun diantara kami yang belum pernah ke CFD. Namun, tetap saja tersihir berbagai pernak-pernik di bibir Jalan Sudirman. Sudah jauh-jauh bertualang, kami pun mengumpulkan niat jogging. Sampai HI, hujan turun lagi. Orang-orang berteduh, termasuk kami. Hujan waktu itu terlihat awet, sehingga kami memutuskan mencari sarapan saja. Forget about jogging :p

Beruntung ada satu diantara kami yang sedia payung, walau satu payung tidak pernah cukup untuk membuat lima orang sekaligus tidak basah. Payungnya cukup melindungi kepala, sisanya tidak. Dua orang diantara kami pun memutuskan bermain hujan, toh hujan tidak akan melukaimu, hanya dingin di kulit, hangat di hati :v

Setelah sarapan, hujan mereda. Tidak terbesit niatan jogging lagi setelah perut terisi. Bukannya membakar, malah menimbun lemak. Maaf bagi yang gagal diet. Jangan jera ikut acara absurd kami lagi ya. Sampai jumpa di waktu yang masih dirahasiakan oleh-Nya :)